Nama : Dewi Febriyanti
NPM : 21211955
Kelas : 2EB22
Soal :
- Berikan contoh kasus hukum perikatan dan analisa
Hukuman Sosial Bagi Para Koruptor
Ketika negara terlalu berpihak dan
menguntungkan koruptor, timbul spirit dan gagasan baru dari masyarakat sendiri
untuk ”menghukum” pelaku korupsi. Sebagian besar publik menyerukan perlunya
penerapan sanksi sosial bagi koruptor, meski dinilai belum tentu efektif.
Pemberantasan korupsi menjadi agenda besar
pemerintah yang tampaknya terus mengalami ganjalan. Di luar soal polemik
institusi, yaitu ”perseteruan” Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan
Kepolisian RI, ada pula persoalan sistemis, yakni penanganan dan pemidanaan
pelaku korupsi. Ringannya hukuman bagi koruptor menjadikan publik belum bisa
mengapresiasi sepenuhnya langkah-langkah pemberantasan korupsi oleh pemerintah.
Catatan Koalisi Masyarakat Sipil
menyebutkan, hingga Agustus 2012 sebanyak 71 terdakwa korupsi melenggang bebas
di pengadilan tindak pidana korupsi. Kalaupun dihukum, mayoritas vonis hukuman
bagi koruptor 1-2 tahun. Dengan demikian, cukup mudah bagi para koruptor
melewati ”masa penderitaan” ketimbang pelaku kriminal biasa yang bisa mencapai
beberapa kali lipat masa hukumannya.
Tiga dari empat responden jajak pendapat
melihat kadar vonis yang dijatuhkan bagi pelaku korupsi masih terlalu ringan
dan dinilai tidak memberikan efek jera. Tidak heran, sinisme terhadap upaya
pemberantasan korupsi tercermin kuat dari jajak pendapat kali ini. Hampir
seluruh responden (89,9 persen) yang dihubungi di berbagai kota mengungkapkan
ketidakpuasan akan situasi pemidanaan pelaku korupsi saat ini.
Pukulan telak bagi proses wacana dan
gerakan pemberantasan korupsi bertambah saat sejumlah bekas terdakwa atau
narapidana justru tetap bisa mengemban jabatan-jabatan publik. Peristiwa paling
baru adalah pengangkatan Azirwan yang pernah dipidana 2,5 tahun penjara dalam
kasus suap sebagai Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Riau.
Pemerintah berpedoman pada argumen ketentuan dalam Undang-Undang Pokok
Kepegawaian yang menyebutkan, PNS yang dihukum kurang dari empat tahun tidak
diberhentikan. Dari sisi aturan hukum, kebijakan ini tidak menyalahi
undang-undang.
Namun, dari aspek moral dan etika, promosi
ini dipandang tidak patut. Rohaniwan Franz Magnis-Suseno dalam buku Etika
Politik (1987) menyebutkan peran etika politik untuk mempertanyakan tanggung
jawab dan kewajiban manusia yang berpedoman pada etika politik. Bila batasan
itu dilanggar, akan muncul hukuman moral.
Aspek tanggung jawab dan kewajiban
berhadapan pula dengan sumpah dan janji yang pernah diucapkan saat menjadi
pegawai negeri (dalam UU Kepegawaian), yaitu bekerja dengan jujur dan
mengutamakan kepentingan negara. Secara normatif, tengok pula pedoman umum
dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Bersih dan Bebas
KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) yang semestinya menjadi pedoman para
penyelenggara negara dalam mengedepankan semangat antikorupsi.
Promosi jabatan bagi Azirwan tak pelak
menjadi pertanyaan besar tentang keseriusan pemerintah dan konsistensi sistem
hukum dalam upaya pembersihan korupsi di negeri ini. Hebatnya lagi, Azirwan
bukanlah satu-satunya contoh bagaimana koruptor masih mendapatkan ruang gerak
di negeri ini. Dalam dua tahun terakhir sedikitnya terdapat enam pejabat publik
yang tetap dilantik meski terjerat kasus korupsi. Sejak disuarakan saat
reformasi, publik terus menanti kemerdekaan negeri ini dari praktik yang telah
menggerogoti moralitas bangsa. Sayangnya, tingginya asa masyarakat masih
berjarak dengan kondisi realitas sesungguhnya.
Karena itu, tak heran bahwa publik melihat
kini saatnya mekanisme ”hukuman sosial” diterapkan bagi koruptor. Sejauh ini
hukuman sosial yang dimaksudkan adalah bentuk hukuman yang lebih bersifat
sanksi di luar proses hukum positif. Artinya, hukuman itu berada di ranah
nonformal sistem peradilan. Meskipun demikian, tak tertutup pula bentuk hukuman
sosial menjadi salah satu bagian dari proses pemidanaan dalam kasus korupsi.
Gagasan bentuk hukuman sosial yang paling
banyak disetujui responden adalah pengumuman koruptor di media massa, seperti
televisi atau koran. Nyaris seluruh responden (92,8 persen) menyetujui bentuk
hukuman tersebut. Bentuk berikutnya adalah mengajak masyarakat untuk tidak
memilih pejabat korup dalam semua kontestasi politik. Terhadap bentuk itu,
sebanyak 82,3 persen responden menyetujui. Bentuk ketiga paling ekstrem, yaitu
mengucilkan dari pergaulan masyarakat, cenderung kurang disetujui.
Dibanding hukuman badan (penjara), hukuman
sosial memang kurang dinilai efektif meredam aksi korupsi. Bagian terbesar
publik jajak pendapat ini tetap melihat perlunya pengenaan hukuman badan yang
lebih tegas ketimbang sekadar pengenaan hukuman sosial. Meski demikian,
bercermin dari lemahnya aturan dan sistem hukum, sepertiga bagian responden
menegaskan perlunya kedua mekanisme itu diterapkan bersamaan.
Penerapan hukuman sosial oleh masyarakat
memang bisa dimaknai sebagai sebuah ”perlawanan publik” atas rasa putus asa
publik terhadap kebijakan negara yang terlalu longgar bagi pelaku korupsi.
Lebih jauh, korupsi dan berbagai penyimpangan etika dalam konteks politik bisa
membahayakan perjalanan demokrasi karena menimbulkan krisis kepercayaan
terhadap parlemen, bahkan negara.
Hukuman sosial bagi koruptor, menurut
pengamat politik Universitas Airlangga, Kacung Maridjan, menyiratkan arti
”dipenjara” secara sosial, tetapi memiliki dampak yang tidak kalah dahsyat
dibanding hukuman penjara fisik. Contohnya, kepala daerah yang terbukti korup
bisa dihukum untuk menjadi tukang bersih-bersih kantor di tempat mereka menjadi
kepala daerah dalam kurun tahun tertentu (Kompas, 24/8).
Selain rasa tidak puas, minornya
pemberantasan korupsi dan keberpihakan kebijakan kepada pelaku korupsi
menggugah kesadaran masyarakat untuk memberikan hukuman dengan caranya sendiri.
Selama ini, penyelenggara negara dinilai terlalu permisif terhadap pelaku
korupsi. Menilik fakta yang terjadi, aturan hukum dan komitmen aparatnya
menjadi celah yang dapat dimanfaatkan koruptor untuk kembali menduduki
posisinya.
Pengangkatan mantan narapidana korupsi dan
sejumlah kebijakan permisif terkait praktik korupsi bisa mengikis moralitas
bangsa. Etika dan moralitas politik bukan lagi menjadi pedoman utama dalam
kehidupan bernegara. Tidak hanya korupsi, tetapi juga berbagai polah tingkah
politisi dan pejabat publik yang dinilai mulai menanggalkan etika dalam
berpolitik.
Mayoritas responden menilai perlu larangan
tegas terhadap narapidana korupsi untuk menjadi PNS. Larangan tegas terhadap
narapidana korupsi untuk menjadi pejabat publik itu dimaksudkan agar muncul
kepastian hukum untuk membangun moralitas politik yang lebih baik.
Analisa :
Analisa menurut saya tentang “hukuman
sosial bagi koruptor” itu seharusnya bisa ditegaskan di negara kita! Tidak
hanya hukuman badan (penjara) saja yang dijalankan, melainkan antara hukum
sosial dan hukum badan (penjara) harus diterapkan secara bersamaan. Agar para
koruptor bisa berkurang di negara Indonesia ini.
Entah siapa yang harus disalahkan? Pemerintahkah?
Atau penegak hukum yang tidak adil dalam mengatasi masalah korupsi di negara
kita? Menurut saya hukum di Indonesia tidak adil! Dan bisa diperjualbelikan
bagi orang-orang yang mempunyai jabatan tinggi dibandingkan dengan orang-orang
yang tidak memiliki jabatan tinggi (rakyat miskin) yang hanya bisa menerima
hukuman bagitu saja tanpa ada pembelaan. Banyak contoh kasus di Indonesia
seperti itu.
Contohnya orang yang hanya mencuri
sendal dimasjid bisa dipenjara puluhan tahun. Sedangkan orang yang mengambil
uang negara (koruptor) hanya dihukum dalam kurun waktu 1-2 tahun penjara. Dimanakah
keadilan itu berada? Tidak heran Indonesia termasuk peringkat ke-5 negara
koruptor di dunia. Dan yang lebih memalukan lagi negara Indonesi termasuk
peringkat pertama seAsia Pasifik. Sungguh sangat menyedihkan!
Menurut contoh kasus diatas tentang “Azirwan”
yang pernah dipenjara 2,5 tahun dalam kasus suap sebagai kepala dinas perikanan
diprovinsi kepulauan Riau. Seharusnya tidak pantas mendapatkan hukuman yang
seringan itu, karena kasus korupsi itu sangat merugikan negara. Apalagi azriwan
tidak diberhentikan dalam pekerjaannya, karena PNS yang dipenjara kurang dari
4tahun diberhentikan.
Tetapi dalam
aspek moral dan etika dipandang tidak patut karena Rohaniwan Franz Magnis-Suseno dalam buku Etika
Politik (1987) menyebutkan peran etika politik untuk mempertanyakan tanggung
jawab dan kewajiban manusia yang berpedoman pada etika politik. Bila batasan
itu dilanggar, akan muncul hukuman moral. Oleh sebab itui seharusnya hukuman sosial
dan hukuman badan harus ditegkan secara
bersamaan agar negara kita bisa mejadi negara hukum yang adil.
Sumber :
http://www.beritakaget.com/arsip/contoh-kasus-hukum-perikatan.html
Sumber :
http://www.beritakaget.com/arsip/contoh-kasus-hukum-perikatan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar